Semarak Hari Bhayangkara Ke 77 Kapolda Kepri Gelar Lomba Ketinting

oleh -162 Dilihat
oleh

MEDIAALIF.COM,Batam – Dalam rangka menyambut Hari Bhayangkara ke 77 Tahun 2023, Kapolda Kepri Irjen. Pol. Drs. Tabana Bangun, M.Si, dan Ketua Bhayangkari Ny. Imelda Tabana Bangun, membuka perlombaan Dayung Sampan dan Ketinting di Kampung Tua Tanjung Riau, Minggu (18/6/2023).

Kegiatan tersebut dihadiri oleh Pejabat Utama Polda Kepri, Kapolresta Barelang, Wakil Ketua Bhayangkari Kepri, Forkopimda Kota Batam, Perwakilan Bakamla dan Perwakilan Lantamal IV Batam.

Dalam acara, Kapolda Kepri menjelaskan, bahwa tujuan perlombaan tidak hanya menyambut Hari Bhayangkara, tapi untuk mengembangkan dan melestarikan olahraga dayung sampan dan balap ketinting yang merupakan warisan lokal masyarakat Prov. Kepri, yang biasanya diselenggarakan menyambut HUT RI.

Tema Hari Bhayangkara ke 77 yaitu Polri Presisi Untuk Negeri Pemilu Damai Indonesia Maju, dan tahun 2023 ini Polri mengadakan perlombaan dengan melibatkan masyarakat.

“Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh peserta dan pendukung yang turut berpartisipasi dalam mensukseskan kegiatan perlombaan, dimana terdapat 70 peserta dengan rincian 32 peserta lomba balapan dayung sampan, dan 38 peserta lomba balap kelinting,” jelasnya.

“Terpilihnya lokasi ini tentunya sudah melalui banyak pertimbangan. Salah satunya transportasi laut adalah aktifitas sehari-hari masyarakat setempat. Saya berharap ke depannya semakin banyak kegiatan yang dapat menghubungkan masyarakarat dan Kepolisian dalam wujud kebersamaan dan kepeduliaan terhadap daerah,” tuturnya.

Perlu diketahui, kampung tua Tg. Riau adalah bagian dari historis Pulau Batam ratusan tahun lalu (Abad 16) kini menjelma pada proses kehidupan investasi pembangunan nasional menjadi Kota Batam. Dan Tg Riau memiliki situs sejarah yakni Makam Tua Perigi Batu.

Kisah singkatnya, nama Tg. Riouw adalah tempat persinggahan kapal-kapal besar saudagar kaya dari negeri luar atau bangsawan, khususnya Sultan dan Raja bersama panglimanya “Titah Sultan” yang dikawal para pendekar sakti (bukan hulubalang), dengan barter rempah-rempah hasil bumi setempat (kultur kehidupan roda perekonomian).

Pada masa Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) nama Tg Riau cukup dikenal dalam bentuk sebuah pulau kecil (Pulau Combon) yang tidak terpisahkan dengan Pulau Janda Berhias (di tengah laut Tg Uncang) serta di penghujung Pulau Sekupang (Kecamatan Sekupang) sekitarnya yang berhubungan langsong dengan Temasek dan Kesultanan Johor.

Namun seiring perjalanan waktu yang sedemikian cepat dan pesatnya pola-pola pembangunan pada setiap titik lokasi daerah, baik historical budaya leluhur, situs sejarah maupun ciri khasnya hampir terkikis terlupakan oleh metode milenial atau Zaman Now yang muncul kepermukaan.

Sementara itu, diantara cucu Adam yang bertebaran dimuka bumi ini, juga merupakan bagian dari trah titisan leluhur merasakan betapa pentingnya untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan dalam lintasan jejak cecetnya (cicit) bahwa Tg.Riau mengandung kisah Panglima Hitam / Pendekar Hitam penjaga Bumi Melayu.

Pada masa kejayaannya (Kesultanan Daik Lingga Johor Pahang Riouw) wilayah sekitarnya, juga sangat dikenal oleh dunia luar tentang nama Panglima Daik, Raja Elang Laut (Titah Sultan sebelumnya) dan Panglima Galang “sembah sujud duli daulat tuan ku..” bagi trah titisan yang dituntun menjelajah mengembara melekat didalam aliran darahnya (diantara risalah prasasti).

Sehingga memasuki masa berakhirnya Kerajaan Semenanjung Melayu Riouw (1911) ikatan bathin situs sejarah leluhur bumi persada, Tuah dan Ruhnya seakan terputus, namun tetap terjaga bersama tatanan adat hukum kearifan lokal hukum nyata maupun hukum abstrak yang tak nampak. Secara patut pula harus dilestarikan. (hmpolda)